mau, tapi tak ada daya
sibuk gak juga,
kangen
Kamis, 22 Oktober 2009
Senin, 12 Oktober 2009
Kelinci Menangis
“Sesil, tunjukkan TP mu”! perintah seorang asisten pada ku. Tugas pendahuluanku mulai dikomentari dan respon pintu mulai berjalan. Berapa pembagian obat antibiotika berdasarkan cara kerjanya? 5 jawabku singkat. Sebut contohnya masing-masing 1! Penghambatan sintesa protein “kloramfenikol”, penghambatan sintesis dinding sel “penisilin”, penghambatan sintesa membrane sel “polimiksin”, dan penghambatan sintesa asam-asam inti (DNA dan RNA) “rifampisin” , serta antagonis saingan “sulfonamida”, jawabku. Masuk, perintahnya padaku. Aku pun masuk dengan nada jantung yang tak berirama akibat perasaan takut yang menjeratku sejak di depan pintu. Mungkin hanya aku yang berperasaan seperti ini ketika tiba waktu respon pintu.
“Hal-hal yang terasa paling sulit, membosankan, ditakuti serta paling banyak hikmah dan manfaatnya bagi sejuta calon farmasis”, mengikuti kegiatan laboratorium selama 8 kali pertemuan dalam 1 semester. Kerja tugas pendahuluan, belajar untuk respon pintu dan respon tulis, menulis laporan dan mengerjakan pantulan serta memburu asisten hanya untuk sebuah tanda Acc di sudut kanan atas laporan.
“Siapkan kertas, tulis nama, nim dan kelompok”, teriak salah satu asistenku. Tiada kata yang tak pernah lupa diucapkan oleh seorang koordinator asisten ataupun asisten lainnya ketika semua praktikan telah masuk ruangan laboratorium. Padahal kata-kata itulah yang paling membosankan bagi kami atau mungkin cuma aku.
“Kumpul”! Teriak kak ahmad berulang-ulang. Suara gemuruh pun mulai terdengar dari kami yang tadinya tenang. Suara itu muncul seketika ketika waktu respon tulis telah habis. Ada yang masih sibuk mengisi kertas dengan meniru jawaban teman dan ada pula yang terburu-buru membawa lembar jawabannya ke arah asisten. Wah, soalnya kok tiap pekan makin sulit ya, bisik indry ditelingaku. Aku masih diam, sibuk dengan pikiran yang selama ini menggangguku. “Indry kembali membisikkan sesuatu ditelingaku”, apa? kataku .
Sesil, apa yang kamu pikirkan? tanya kak ahmad. Eh…eh tidak jawabku sekenanya. Trus kenapa masih duduk ? Segera siapkan hewan cobamu. Iya kak, jawabku terbata-bata sambil berjalan menuju kandang. Praktikum hari ini tentang antibiotika, setiap kelompok menggunakan 1 kelinci sebagai hewan coba.
“Hewan coba yang selalu mengorbankan dirinya demi pengembangan ilmu dunia”, tak peduli mati atau sakit. “Semua dilalui dengan senang hati tanpa berontak, dan merekalah yang mempunyai andil besar dalam pengembangan ilmu ini terutama dalam bidang kesehatan”.
Penentuan farmakokinetika dari setiap jenis obat adalah inti dari praktikum ini. Mulai dari menghitung waktu reabsorpsinya pada usus, nilai plasma t ½ nya, persentase eksresinya melalui kemih.
“Pekerjaan yang tak akan ada hentinya”, pikirku. Tiap pekan praktikumnya hanya mengukur nilai farmakokinetika suatu obat yang hanya berbeda golongan tiap pekannya. Hal inilah yang kadang membuatku jenuh. Tapi, ada hal yang mengasikkan ketika mengambil darah dari telinga seekor kelinci, tanpa memperdulikan perasaan hewan coba itu. Walau kadang jemariku tak mampu menggoyangkan spoit itu ke urat nadi kelinci.
“Kelinci harus merintih kesakitan ketika darahnya disedot dengan spoit” pikiran itu selalu tertanam di benakku. “Kenapa tidak ada undang-undang hewan coba, kenapa hanya manusia dan manusia yang dimuliakan”, mungkin hewan coba pernah menyuarakan ini, tapi apa daya, “kehidupan yang layak hanya untuk manusia”.
Pengambilan darah pada kelinci pun dimulai dengan mencukur bulu pada telinga kemudian dengan menggunakan spoit darahnya diambil 5 ml tiap 5 menit, pada menit ke-25 terjadi sesuatu yang janggal dan baru pertama kali kutemukan. “Kelinci itu seakan menatapku, meminta agar pekerjaan ini dihentikan, mungkin ini hanya halusinasiku”, pikirku. Aku pun melanjutkan pengambilan darah pada menit ke-25, “tiba-tiba terdengar suara mencekik dari leher kelinci ini”, aku tersentak kaget dan melepaskan spoit yang sudah berisi darah. “Kelinci ini menjerit, menangis, menahan kesakitan yang terlalu dalam.
“Aku trauma dengan kejadian itu”. Aku hanya bisa diam dalam jeritan itu. Aku tak sanggup lagi melihat kelinci dalam kandang perlakuan yang siap mengabdi demi perkembangan ilmu pengetahuan. “Apa yang bisa kulakukan untukmu”, pertanyaan yang tak pernah hilang dalam benakku.
“Sesil, tunjukkan TP mu”! perintah seorang asisten pada ku. Tugas pendahuluanku mulai dikomentari dan respon pintu mulai berjalan. Berapa pembagian obat antibiotika berdasarkan cara kerjanya? 5 jawabku singkat. Sebut contohnya masing-masing 1! Penghambatan sintesa protein “kloramfenikol”, penghambatan sintesis dinding sel “penisilin”, penghambatan sintesa membrane sel “polimiksin”, dan penghambatan sintesa asam-asam inti (DNA dan RNA) “rifampisin” , serta antagonis saingan “sulfonamida”, jawabku. Masuk, perintahnya padaku. Aku pun masuk dengan nada jantung yang tak berirama akibat perasaan takut yang menjeratku sejak di depan pintu. Mungkin hanya aku yang berperasaan seperti ini ketika tiba waktu respon pintu.
“Hal-hal yang terasa paling sulit, membosankan, ditakuti serta paling banyak hikmah dan manfaatnya bagi sejuta calon farmasis”, mengikuti kegiatan laboratorium selama 8 kali pertemuan dalam 1 semester. Kerja tugas pendahuluan, belajar untuk respon pintu dan respon tulis, menulis laporan dan mengerjakan pantulan serta memburu asisten hanya untuk sebuah tanda Acc di sudut kanan atas laporan.
“Siapkan kertas, tulis nama, nim dan kelompok”, teriak salah satu asistenku. Tiada kata yang tak pernah lupa diucapkan oleh seorang koordinator asisten ataupun asisten lainnya ketika semua praktikan telah masuk ruangan laboratorium. Padahal kata-kata itulah yang paling membosankan bagi kami atau mungkin cuma aku.
“Kumpul”! Teriak kak ahmad berulang-ulang. Suara gemuruh pun mulai terdengar dari kami yang tadinya tenang. Suara itu muncul seketika ketika waktu respon tulis telah habis. Ada yang masih sibuk mengisi kertas dengan meniru jawaban teman dan ada pula yang terburu-buru membawa lembar jawabannya ke arah asisten. Wah, soalnya kok tiap pekan makin sulit ya, bisik indry ditelingaku. Aku masih diam, sibuk dengan pikiran yang selama ini menggangguku. “Indry kembali membisikkan sesuatu ditelingaku”, apa? kataku .
Sesil, apa yang kamu pikirkan? tanya kak ahmad. Eh…eh tidak jawabku sekenanya. Trus kenapa masih duduk ? Segera siapkan hewan cobamu. Iya kak, jawabku terbata-bata sambil berjalan menuju kandang. Praktikum hari ini tentang antibiotika, setiap kelompok menggunakan 1 kelinci sebagai hewan coba.
“Hewan coba yang selalu mengorbankan dirinya demi pengembangan ilmu dunia”, tak peduli mati atau sakit. “Semua dilalui dengan senang hati tanpa berontak, dan merekalah yang mempunyai andil besar dalam pengembangan ilmu ini terutama dalam bidang kesehatan”.
Penentuan farmakokinetika dari setiap jenis obat adalah inti dari praktikum ini. Mulai dari menghitung waktu reabsorpsinya pada usus, nilai plasma t ½ nya, persentase eksresinya melalui kemih.
“Pekerjaan yang tak akan ada hentinya”, pikirku. Tiap pekan praktikumnya hanya mengukur nilai farmakokinetika suatu obat yang hanya berbeda golongan tiap pekannya. Hal inilah yang kadang membuatku jenuh. Tapi, ada hal yang mengasikkan ketika mengambil darah dari telinga seekor kelinci, tanpa memperdulikan perasaan hewan coba itu. Walau kadang jemariku tak mampu menggoyangkan spoit itu ke urat nadi kelinci.
“Kelinci harus merintih kesakitan ketika darahnya disedot dengan spoit” pikiran itu selalu tertanam di benakku. “Kenapa tidak ada undang-undang hewan coba, kenapa hanya manusia dan manusia yang dimuliakan”, mungkin hewan coba pernah menyuarakan ini, tapi apa daya, “kehidupan yang layak hanya untuk manusia”.
Pengambilan darah pada kelinci pun dimulai dengan mencukur bulu pada telinga kemudian dengan menggunakan spoit darahnya diambil 5 ml tiap 5 menit, pada menit ke-25 terjadi sesuatu yang janggal dan baru pertama kali kutemukan. “Kelinci itu seakan menatapku, meminta agar pekerjaan ini dihentikan, mungkin ini hanya halusinasiku”, pikirku. Aku pun melanjutkan pengambilan darah pada menit ke-25, “tiba-tiba terdengar suara mencekik dari leher kelinci ini”, aku tersentak kaget dan melepaskan spoit yang sudah berisi darah. “Kelinci ini menjerit, menangis, menahan kesakitan yang terlalu dalam.
“Aku trauma dengan kejadian itu”. Aku hanya bisa diam dalam jeritan itu. Aku tak sanggup lagi melihat kelinci dalam kandang perlakuan yang siap mengabdi demi perkembangan ilmu pengetahuan. “Apa yang bisa kulakukan untukmu”, pertanyaan yang tak pernah hilang dalam benakku.
Langganan:
Komentar (Atom)